Pelitakota.com|Batam, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia DAPIL Kepulauan Riau, Richard Pasaribu optimis kebijakan pebangunan pelabuhan besar di Batam akan menjadi motor penggerak ekonomi dan berpotensi mendulang devisa negara.
Pembangunan pelabuhan ini juga akan berdampak dengan cipta kerja tingkat manajemen hingga buruh kasar dan pekerja informal. Nilai investasi pembangunan pelabuhan Batam menelan biaya sekitar Rp30 Triliun untuk kapasitas 10 juta TEUs.
Menurut Richard Passaribu, Pelabuhan besar ini akan menghasilkan income dengan estimasi potensi pendapatan per tahun bisa mencapai puluhan Trillun Rupiah, maka Payback Period dapat dicapai dengan mudah dalam beberapa tahun kedepan.
Potensi Batam sebagai poros maritim dengan memiliki pusat pelabuhan laut, diharapkan bisa memberikan sumbangsih devisa negara yang cukup signifikan.
Dengan tidak adannya pelabuhan besar Batam, maka potensi devisa yang ada tersedot 100 persen oleh Singapura melalui Port of Singapore Authority (PSA) yang telah mempunyai pelabuhan besar.
Hal itu hingga saat ini Batam belum memanfaatkan secara masksimal kondisi letak geografisnya yang strategis ini, yang sebetulnya setara dengan posisi Singapura yang sudah punya PSA bertaraf internasional dengan kapasitas 47 juta TEUs.
Richard Pasaribu, Optimis jika kehadiran Pelabuhan Batam dapat terealisasi, maka bisnis dari jasa kelola pelabuhan bisa mengambil porsi potensi Selat Phillips yang dilalui 25-30 persen kapal-kapal besar di seluruh dunia, yaitu sekitar 2.000 kapal besar per hari.
Hasil Feasibility Study (FS) proyek pelabuhan besar ini, langkah pertama yang harus dilakukan Pemerintah harus punya strategi nasional yang kokoh. Maka Potensi devisa pasti diperoleh dari jasa penyediaan tempat-tempat berlabuhnya kapal, pemanduan (pilotage) serta penundaan kapal.
“Penyediaan dermaga, fasilitas lain untuk bongkar muat peti kemas, general cargo, dan lain sebagainya.
Keunggulan PSA selama ini mengambil porsi 100 persen lalu lintas kapal dari seluruh dunia yang melewati Selat Philips (kawasan yang memisahkan Batam dengan Singapura).
Alur pelayaran kapal ke Asia Tenggara dan Asia Timur (China, Jepang, Korea), dan juga ke Amerika dan Kanada melintasi Selat Philips. Volume jumlah kapal yang melewati Selat Phillips ada sekitar 25-30 persen dari volume total seluruh dunia, melewati Selat Philips, yaitu menuju ke Asia Tenggara, Asia Timur (China, Korea, Jepang) atau lintas Filipina menuju ke Amerika dan Kanada, atau kalau ke bawah, lewat laut Jawa, menuju ke Australia, Selandia Baru, atau Amerika Selatan (alur pelayaran), nyata-nyatanya 100 persen dinikmati oleh Negara Singapore.
“FS dengan asumsi 10 persen porsi saja, PSA 90 persen, kan lumayan. Belum lagi dengan multiplier-effect, seperti cipta kerja kita, sampai aktivitas taksi dan ojeknya. Perhitungan potensi devisa negara yang masuk sudah jadi captive market. Sederhananya, dengan investasi membangun Rp 30 T, beberapa tahun saja sudah kembali modal (Payback Period), setelah itu berupa passive income yaitu menjadi devisa negara sebesar puluhan triliun rupiah per tahun,” kata Richard Pasaribu.
Batam dan Singapura ibarat intan berlian yang seharusnya dipoles agar memberikan nilai tambah yang sangat besar. By the way, Singapura sudah berhasil memolesnya, sedangkan Indonesia masih belum berhasil memolesnya.Potensi kilang minyak yang sangat prospektif untuk dibangun di Batam.
“Kabupaten Natuna yang kaya dengan migas, hasil migasnya disalurkan melalui subsea pipeline (pipa bawah dasar laut) yang panjangnya sampai ratusan kilometer, kenapa disalurkan ke Singapura? Pipa tinggal dibelokkan saja ke Batam disalurkan ke kilang minyak kita sendiri, yang tentunya harus kita bangun dahulu.
Masa begitu sudah mau sampai ke Batam, pipanya dibelokkan ke Singapura, ke kilang minyak mereka yang ada di Pulau Ayer, Pulau Bukom, dan Pulau Merlimau?
“Migas yang mereka olah di kilang minyak akan mendapat devisa puluhan triliun per tahun, melalui nilai tambah dari migas mentah ke BBM dan gas. Sementara ini kita masih impor BBM dengan menyedot devisa negara ratusan triliun rupiah.” Tutup Richard Pasaribu. (***)